Senin, 31 Mei 2010

ORANG PAKISTAN CIPTAKAN FACEBOOK MUSLIM


Sekelompok enam profesional muda TI dari Lahore, ibukota budaya dan hiburan Pakistan, meluncurkan www.millatfacebook.com pada Selasa buat orang Muslim untuk berinteraksi "daring" (dalam jaringan) dan memprotes penghujatan.

Perusahaan swasta tersebut lahir setelah satu pengadilan Pakistan memerintah pemblokiran terhadap Facebook sampai 31 Mei, karena rakyat Pakistan tersinggung dengan laman "Everyone Draw Mohammed Day" yang menghujat dan menistakan Rasulullah SAW.span class="fullpost">

"Millatfacebook adalah laman jejaring sosial pertama yang dimiliki Pakistan. Laman buat Muslim oleh Muslim, tempat orang-orang yang baik dari agama lain juga diterima dengan tangan terbuka," kata jejaring itu kepada orang tertarik untuk bergabung.

Setiap anggota memiliki "tembok" buat teman untuk menyampaikan komentar. Laman tersebut menawarkan fasilitas surat elektronik, foto, video, bercakap-cakap dan diskusi.

Dalam bahasa Urdu kata "Millat" digunakan oleh umat Muslim untuk merujuk kepada bangsa mereka. Jejaring itu menyatakan telah menarik 4.300 anggota dalam tiga hari belakangan --kebanyakan orang Pakistan yang mampu berbahasa Inggris dalam usia 20-an tahun.

Jumlah peminat diduga akan bertambah, tapi masyarakat tersebut hanya lah setetes air di lautan 2,5 juta penggemar Facebook di Pakistan dan ada reaksi pedas pada saat peluncuran jejaring itu.

"Kami ingin memberitahu orang-orang Facebook, `jika mereka macam-macam dengan kami, mereka harus menghadapi konsekuensi`," kata Usman Zaheer (24), pemimpin petugas pelaksana rumah perangkat lunak yang menampung laman baru tersebut.

"Jika seseorang menghujat Nabi Muhammad SAW, maka kami akan menjadi pesaing mereka dan memberi kerugian besar dalam bisnis," katanya. Dia memimpinkan dapat membuat jejaring sosial Muslim terbesar.

Segera setelah bergabung, anggota baru hanya satu klikan saja dari perdebatan di laman buletin.

Misalnya adalah "Enticing Fury" menulis, "Alasannya ialah forum ini harus tersedia buat SEMUA MUSLIM DI DUNIA dan bukan hanya di Pakistan. Jadi, penggunaan kata MILLAT sangat bagus! Selamat teman-teman. Kalian telah membuat pilihan yang sangat luar biasa buat seluruh umat Muslim!" (Ant)


Selasa, 18 Mei 2010

R U M A H


kura-kura tampak tenang ketika merayap di antara kerumunan penghuni hutan lain. Pelan tapi pasti, ia menggerakkan keempat tapak kakinya yang melangkah sangat lamban: "Plak...plak...plak...!"

Tingkah kura-kura itu pun mengundang reaksi hewan lain. Ada yang mencibir, tertawa, dan mengejek. "Hei, kura-kura! Kamu jalan apa tidur!" ucap kelinci yang terlebih dulu berkomentar miring. Spontan, yang lain pun tertawa riuh.

"Hei, kura-kura!" suara tupai ikut berkomentar. "Kalau jalan jangan bawa-bawa rumah. Berat tahu!" Sontak, hampir tak satu pun hewan yang tak terbahak. "Ha..ha..ha..ha! Dasar kura-kura lamban!" komentar hewan-hewan lain kian marak.

Namun, yang diejek tetap saja tenang. Kaki-kakinya terus melangkah mantap. Sesekali, kura-kura menoleh ke kiri dan kanan menyambangi wajah rekan-rekannya sesama penghuni hutan. Ia pun tersenyum. "Apa kabar rekan-rekan?" ucap si kura-kura ramah.

"Teman, tidakkah sebaiknya kau simpan rumahmu selagi kamu jalan. Kamu jadi begitu lambat," ucap kancil lebih sopan. Ucapan kancil itulah yang akhirnya menghentikan langkah kura-kura. Ia seperti ingin mengucapkan sesuatu.

"Tak mungkin aku melepas rumahku," suara kura-kura begitu tenang. "Inilah jatidiriku. Melepas rumah, berarti melepas jatidiri. Inilah aku. Aku akan tetap bangga sebagai kura-kura, di mana pun dan kapan pun!" jelas si kura-kura begitu percaya diri.
**

Menangkap makna hidup sebagai sebuah pertarungan, memberikan sebuah kesimpulan bahwa merasa tanpa musuh pun kita sebenarnya sedang bertarung. Karena musuh dalam hidup bisa berbentuk apa pun: godaan nafsu, bisikan setan, dan berbagai stigma negatif. Inilah pertarungan yang merongrong keaslian jatidiri: sebagai muslim, aktivis, dan dai.

Pertarungan tanpa kekerasan ini bisa berakibat fatal dibanding terbunuh sekali pun. Karena orang-orang yang kalah dalam pertarungan jatidiri bisa lebih dulu mati sebelum benar-benar mati. Ia menjadi mayat-mayat yang berjalan.

Bagian terhebat dari pertarungan jatidiri ini adalah orang tidak merasa kalah ketika sebenarnya ia sudah mati: mati keberanian, mati kepekaan, mati spiritual, mati kebijaksanaan, dan mati identitas.

Karena itu, tidak heran jika kura-kura begitu gigih mempertahankan rumah yang membebaninya sepanjang hidup. Walaupun karena itu, ia tampak lamban. Walaupun ia diserang ejekan. Kura-kura punya satu prinsip yang terus ia perjuangkan: inilah aku! Isyhaduu biannaa muslimiin.

C E R M I N


aku cakep!" ujarnya setelah memastikan kalau bayangan itu memang benar-benar diri kancil sendiri. Dan, kancil pun melompat-lompat kegirangan. Tiap kumpulan hewan yang ia lalui seolah tersenyum memandangi dirinya. Bisikan yang selalu ia yakini pun mengatakan, "Kancil cakep, Ya! Kancil cakep!"

Begitu seterusnya hingga hewan periang ini menemukan genangan air yang lain. Warna air itu agak kusam. Beberapa dahan pohon yang mulai membusuk dalam air seperti memberi warna hijau pekat. Dan bayang-bayang yang dipantulkan genangan itu pun akan menjadi kusam.

"Hei, kenapa wajahku seperti ini?" teriak kancil sesaat setelah memandangi bayangan wajahnya dari permukaan genangan air itu. Ia jadi kian penasaran. Terus ia pandangi genangan itu seolah mencari detil-detil kesalahan. Tapi, bayangan itu tak juga berubah. Ia terlihat kusam, kumuh. Bulu-bulu coklatnya yang bersih tak lagi tampak seperti apa adanya. "Ternyata aku salah! Aku tidak cakep!" keluh kancil sambil beranjak meninggalkan genangan air.

Berjalan agak lunglai, kancil membayangkan sesuatu yang tak nyaman. Sapaan manis hewan-hewan yang ia lalui, terasa agak lain. Tiap sapaan seperti sebuah hinaan: "Kancil jelek! Sok cakep!" Itulah kenapa kancil selalu menunduk ketika berpapasan dengan siapa pun yang ia jumpai. Mulai dari kuda, kerbau, rusa, zebra, dan kambing. Ia merasa begitu rendah dibanding yang lain. Keriangannya pun berganti kesedihan. Pelan tapi pasti, bayang-bayang itu pun menjadi sebuah pengakuan. "Aku memang sok cakep!"

***

Hidup dalam sebuah kebersamaan adalah sama dengan memandangi diri dalam seribu satu cermin sosial. Masing-masing cermin punya sudut pandang sendiri. Bayangan yang ditampilkannya pun sangat bergantung pada mutu cermin. Tentu akan beda antara bayangan cermin jernih dengan yang kusam. Terlebih jika cermin itu sudah retak.

Memahami keanekaragaman cermin ini akan membuat seseorang seperti berjalan pada bentangan tambang di sebuah ketinggian. Ia mesti merawat keseimbangan: antara percaya diri yang berlebihan dengan rendah diri yang kebablasan. Percaya diri yang berlebihan, membuat langkah menjadi tidak hati-hati. Dan rendah diri yang kebablasan, membuat langkah tak pernah memulai.

Andai keseimbangan percaya diri ini yang dipahami kancil, tentu ia tak terlalu bangga dengan bayangan yang terasa begitu membuai. Karena di cermin yang lain, bayangan dirinya menjadi buruk. Sangat buruk. Andai keseimbangan ini yang dipegang kancil, insya Allah, ia tak akan jatuh.
dikutip dari: www.eramuslim.com

HIJAB


Seorang anak memperhatikan tingkah ibunya yang menurutnya aneh. Ia heran kenapa kalau akan keluar rumah, ibunya selalu menutup rapat seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Bahkan di dalam rumah pun, jika tamu datang, ibunya segera melakukan hal yang sama: berhijab.

“Ibu aneh!” ucapnya sambil mencari-cari reaksi dari sang ibu. Ibu anak itu pun menoleh ke arah buah hatinya. Ia memeriksa dirinya untuk menemukan sesuatu yang agak lain. Tapi, tidak ia temukan.

“Aneh? Apanya yang aneh, sayang?” sambut sang ibu ketika yakin kalau tak ada satu pun dari dirinya yang lain dari yang lain.

“Kenapa ibu menutup rambut, tubuh, lengan, dan kaki kalau mau keluar? Padahal, ibu tidak cacat. Rambut ibu bagus, lengan dan kaki ibu pun tidak ada yang perlu disembunyikan!” ungkap sang anak begitu gamblang. Mungkin, inilah kesempatannya untuk bisa mengeluarkan kebingungannya selama ini.

Sang ibu pun senyum. Ia mendekati anaknya perlahan. Sambil mengulum senyum itu, sang ibu mencari-cari jawaban yang pas buat si anak.

“Anakku, ibu tidak sedang menutupi kecantikan, apalagi keburukan. Justru, ibu mengenakan kecantikan baru untuk memperindah kecantikan fisik ibu yang tidak seberapa. Inilah busana kecantikan dari Yang Maha Sayang!” ucap sang ibu sambil menatap buah hati di depannya yang masih tampak bingung.
**

Inti dari dinamika hidup anak-anak manusia adalah memproduksi sesuatu yang indah. Bagus. Paling baik. Keindahan akan semakin indah ketika karya anak manusia telah melalui berbagai halangan, ujian, cobaan; menggosok batu cincin keindahan amal menuju peringkat keindahan yang lebih tinggi.

Namun, itu saja belum cukup. Karena keindahan yang bisa dihasilkan manusia tidak seperti kemolekan alam melalui birunya laut, keserasian cakrawala, dan liukan indah sebuah pegunungan.

Keindahan amal manusia tidak berhenti pada sesuatu yang tampak. Justru, keindahan akan kian bernilai ketika ia tidak lagi mudah terlihat, tidak gampang terjamah. Itulah busana kecantikan amal dari Yang Maha Sayang, dan hanya untuk Yang Paling Penyayang. (muhammadnuh@eramuslim.com)

ANTARA GAZA DAN RITZ CARLTON

Kisah yang tersisa dari tragedi di Gaza telah menggambarkan kehidupan yang pahit. Pahitnya kehidupan di Gaza benar-benar menyakitkan. Tapi kepahitan itu hanya bagi mereka yang dapat merasakannya. Tidak semua orang dapat merasakan kehidupan yang pahit, yang dialami muslim di Gaza.

Kematian yang tanpa henti. Kematian yang selalu menanti. Nyawa menjadi tidak berharga. Zionis-Israel sangat tidak peduli atas kematian-kematian mereka. Terus memuntahkan peluru dari senjata-senjatanya. Inilah sebuah tragedi, yang tanpa henti. Entah sampai kapan keadaan ini? Mungkihkah ada pembela-pembela yang sejati?

Mereka yang kehilangan sanak famili, suami, istri, anak, orang tua, dan keluarga lainnya. Betapa pahitnya hidup muslim di Gaza. Mereka selalu kehilangan orang-orang terdekat. Seperti kisah yang sudah panjang itu tak pernah usai. Betapapun, mereka tetap bersabar, tak pernah putus asa, dan hidup dengan penuh pengharapan. Mereka terus berjuang dengan gigih, tanpa merasa letih.

Kisah seperti yang dialami oleh Dr. Ehab Jasir al-Shaer, seorang dokter, dan mengambil spesialis dibidang dermatology, dan menyelesaikann spesialisnya di Universitas Ukraina, dan ia tidak ada dikliniknya, saat 27 Desember 2008 itu. Hari itu, Ehab dan saudaranya Raja, pamannya Yasir, sepupunya Haitham dan Tamer, semuanya mereka tinggal di kota perbatasan Rafah yang letaknya di selatan kota Gaza.

Jam 10 pagi waktu setempat, anak saya, saudara saya, dan ipar saya pergi ke kantor pemerintahan Rafah. Dan, sampai ke kantor kota Rafah, kira-kira jam menunjukkan pukul 11.30, dan saya mendengar ledakan dahsyat di mana-mana, ungkap Jaser al-Shaer (60), ayah Dr. Ehab. Ketika terjadi ledakan yang dahsyat di mana-mana itu, Jaser al Shaer sedang di atas sofa ditempat praktek klinik Ehab.

Jaser el-Shaer diberitahu tetangganya, yang berdekatan dengan rumahnya bahwa gedung pemerintahan di Rafah, baru saja dihantam missil pesawat tempur Israel. Lalu, hati saya menjadi tersayat sedih. Membayangkan anak saya, saudara saya, dan ipar saya yang ada di gedung itu. Saya bergegas meninggalkan rumah, terus menuju ke gedung pemerintahan Rafah.

Di reruntuhan gedung pemerintahan Rafaf itu, saya menemukan anak saya Ehab, saudara saya Yasir, dan anaknya Haitam, yang ikut syahid, akibat missil Israel’ ujar Jaser. Laki-laki yang berusia 60 tahun itu, terduduk dan termangu memandangi jenazah anaknya Ehab, saudaranya Yasir, dan putra Haitam.

Wajah Ehab nampak tersenyum seperti orang tidur, ujar Jaser al Shaer. “Ia seorang suami yang penuh kasih sayang, lembut, dan suami yang bertanggungjawab”, ujar Nancy Jouda, istri Ehab, sambil menitikkan air matanya.

Umm Ehab, seorang ibu yang sangat mencintai putranya, ia tak dapat menghentikan rasa sedihnya, tangisnya terus mengiringi anaknya, yang terbaring di depannya. “Apakah semua penderitaan bagi saya,” ungkap Nancy, yang sedang hamil tiga bulan. “Adakah anakku tak dapat lagi melihat ayahnya,” tambah Nancy. Sekarang Nancy menjadi seorang janda, yang masih berusia 28 tahun, disertai seorang anak laki-laki dan perempuan.

Episode yang dialami seorang wanita Palestina, sebagai akibat kebiadaban Israel. Keluarga Jasir al Shaer berada di kamp pengungsi di tahun 1948, ketika keluarga itu diusir oleh tentara Israel di desa Karatiya, dan kelurga Jaser merupakan salah diantarar 450 penduduk Karatiya, yang oleh Israel sekarang ini dianggap sebagai masyarakat tidak memiliki tempat tinggal.

Keluarga Jaser telah kehilangan dua anaknya, di bulan Mei 2004, dibantai oleh tentara Israel. Sekarang Jaser harus kehilangan lagi anaknya, Ehab. Serangan Israel yang terjadi di bulan Mei 2004 itu, ke wilayah Tal al Sultan, yang terletak di selatan kota Rafah.

Para pasien Ehab sangat terkejut mendengar kabarnya, bahwa dokter Ehab syahid. “Saya telpon kepadda Dr. Ehab untuk konfirmasi janji saya, tetapi yang menjawab bukan Dr. Ehab, tetapi saudaranya yang bernama Shirin,” ujar seorang pasien. “Saya berteriak, mendengar Dr. Ehab syahid saya bersedih sekali,” tambah pasien itu.

Dr. Ehab al-Shaer mulai praktek di sebuah klinik di kota Rafah, 2006, dan melakukan praktek dermatology.Selama setahun telah mendapatkan perhatian yang luas dikalangan masyarakat Rafah, dan mereka sangat menyukai Dr. Ehab. Dan, Dr. Ehab membuka cabang klinik di kamp Nuseirat, di pusat kota Gaza.

Ini hanya sepenggal episode, saat belangsungya invasi militer Zionis-Israel ke Gaza, yang meluluh-lantakkan wilayah itu. Tetapi, tak juga membuat pemerintahan di Gaza mengibarkan bendera putih. Tetap bersikap teguh menghadapi Israel, Amerika, Uni Eropa, Rusia dan PBB. Tidak lantas menyerah dan bertekuk lutut. Mengakui eksistensi Zionis-Israel.

Muslim di Gaza sudah hampir empat tahun, menghadapi embargo dan blokade Israel dan internasional, sejak kemenangannya dalam pemilu 2006, dan disusul dengan pengambil-alihan pusat kekuasaan Mahmud Abbas di Gaza.

Muslim Gaza bukan hanya menghadapi embargo dan blokade, tetapi menghadapi kekurangan pasokan makanan, penderitaan, dan tidak dapat pergi ke mana-mana, mereka bagaikan dalam penjara hidup. Masih ditambah dengan tindakan Mesir, yang membangun tembok baja, sepanjang perbatasan Mesir dengan Gaza. Luar biasa penderitaan itu.

Sementara itu, Zionis-Israel terus membangun pemukiman baru di Jerusalem Timur, dan menghancurkan rumah-rumah milik warga Palestina. Masih belum cukup. Zionis Israel dengan bertahap berusaha menghapus Al-Aqsha dan menggantinya dengan kuil Sulaeman.

Di bagian lain, di Jakarta, konon ada sebuah komunitas gerakan Islam yang menyelenggarakan acara di sebuah hotel yang super mewah di Ritz Carlton, yang tujuannya untuk membangun citra. Begitu pentingnya sebuah citra itu? Di banding nasib muslim di Gaza dan Al-Aqsha. Dan, hotel Ritz Carlton itu milik siapa?

Sebuah paradok yang sangat menyayat hati, bagi siapapun yang masih memiliki hati nurani dan perasaan. Wallahu'alam.
Dikutip dari www.eramuslim.com

Sabtu, 15 Mei 2010

Pudarnya Pesona Cleopatra

Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalam
kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal.
“Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren
Mangkuyudan Solo dulu,” kata ibu.

“Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan
besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon
keikhlasanmu,” ucap beliau dengan nada mengiba.

Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah.
Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin
menjadi mentari pagi di hatinya, meskipun untuk itu aku harus
mengorbankan diriku.

Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun
sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang
begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya
kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa
berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai.
Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida
adikku, ia memang baby face dan anggun. Namun garis-garis kecantikan
yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali.

Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, “Cantiknya alami, bisa jadi
bintang iklan Lux lho, asli !” kata tante Lia. Tapi penilaianku lain,
mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan
Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung
melengkung indah, mata bulat bening khas Arab, dan bibir yang merah.
Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan
bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu
sia-sia.

Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku.
Hari pernikahan datang. Duduk di pelaminan bagai mayat hidup, hati
hampa tanpa cinta, Pestapun meriah dengan empat group rebana. Lantunan
shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum
manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta.
Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas
baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!

Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta,
hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca
ayat-ayatNya. Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi
kebohonganku dan kepura-puraanku.

***
Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang.
Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa
susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat
bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah
bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar,
wajahnya yang teduh tetap terasa asing.

Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai
kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh
rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya
kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih
banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di
ruang tamu atau ruang kerja. Aku merasa hidupku ada lah sia-sia,
belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku
sia-sia.

Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama,
karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab,
“tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus
belajar berumah tangga.”

Ada kekagetan yang kutangkap di wajah Raihana ketika kupanggil ‘mbak’,
“Kenapa Mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa Mas sudah tidak
mencintaiku,” tanyanya dengan guratan wajah yang sedih.

“Wallahu a’lam,” jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana
diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk
kakiku, “Kalau Mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri,
kenapa Mas ucapkan akad nikah?”

“Kalau dalam tingkahku melayani Mas masih ada yang kurang berkenan,
kenapa Mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa Mas diam saja, aku
harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan Mas, kumohon bukalah
sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi
menyempurnakan ibadahku di dunia ini,” Raihana mengiba penuh pasrah.

Aku menangis menitikkan air mata, bukan karena Raihana tetapi karena
kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak
berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap
melayaniku, menyiapkan segalanya untukku.

***
Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai di rumah habis
maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali
segelas kopi buatan Raihana tadi pagi. Memang aku berangkat pagi
karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir.

“Mas tidak apa-apa,” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas mandi
dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi
mendidih,” lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. ”Mas
airnya sudah siap,” kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku
langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah
berdiri di depan pintu membawa handuk. ”Mas aku buatkan wedang jahe.”
Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa
kutahan.

Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan
memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. “Mas
masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai
balsam, minyak putih, atau jamu?” tanya Raihana sambil menuntunku ke
kamar. ”Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus
kulakukan untuk membantu Mas”.

“Biasanya dikerokin,” jawabku lirih. “Kalau begitu kaos mas dilepas
ya, biar Hana kerokin,” sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku.
Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar
mengeroki punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus.

Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang
hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat
Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al
Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana
manis tapi tak semanis gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra.

Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku
untuk makan malam di istananya. “Aku punya keponakan namanya Mona
Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu,” kata Ratu Cleopatra. “Dia
memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok
dan berniat memperkenalkannya denganmu.” Aku mempersiapkan segalanya.
Tepat pukul 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan
pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk
di kursi yang berhias berlian.

Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba “Mas, bangun, sudah
jam setengah empat, mas belum sholat Isya,” kata Raihana
membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. “Maafkan aku
Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya,” lirih
Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam.

Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku
jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan
mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat baik
membangunkanku untuk sholat Isya.

Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu
dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku
benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai
Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa
dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.

***

“Mas, nanti sore ada acara aqiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga
akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang
bareng, tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak
datang,” suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman
Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde
kesukaanku dan segelas wedang jahe.

Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. “Maaf..maaf
jika mengganggu Mas, maafkan Hana,” lirihnya, lalu perlahan-lahan
beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. “Mbak! Eh maaf, maksudku
D..Din..Dinda Hana!,” panggilku dengan suara parau tercekak dalam
tenggorokan.

“Ya Mas!” sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan
menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia
bahagia dipanggil ‘dinda’. Matanya sedikit berbinar. “Te..terima kasih
Di..dinda, kita berangkat

bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah,” ucapku sambil
menatap wajah Hana

dengan senyum yang kupaksakan.

Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum
bersinar di bibirnya. “Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau
pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja
yang memilihkan ya?” Hana begitu bahagia.

Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan
bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku
belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku.
Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah.

Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku
memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini. Tapi,
setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun.
Kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku
merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini.

Acara pengajian dan aqiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana
membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana,
kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh
bangga. “Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang
paling ideal dalam keluarga!” sambut Yu Imah disambut tepuk tangan
bahagia mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana
cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku
menangis disebut pasangan ideal.

Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan
terbaik di kampusnya dan hafal al-Quran lantas disebut ideal? Ideal
bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa
cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang
tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari
detik ke detik meneteskan rasa bahagia.

Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana.

Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget
oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata
keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali
menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan
ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat
pusing dengan sikapku.

Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang
keturunan. “Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada
tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu,” kata
ibuku. “Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah
kami. Bukankah begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku,
aku tergagap dan mengangguk sekenanya.

Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana.
Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan.
Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan
kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha
Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri.
Raihana hamil. Ia semakin manis.

Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak
kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera.
Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak
kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya, “Mana tanggung
jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. “Entahlah, betapa sulit
aku menemukan cinta,” gumamku.

Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan
ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan
alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia ke
rumahnya.

Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak
menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal di kontrakan. Ketika aku
pamitan, Raihana berpesan, “Mas, untuk menambah biaya kelahiran anak
kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh di
bawah bantal, nomor pin-nya sama dengan tanggal pernikahan kita.”

Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari
aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa
sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan
segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa
saat kuliah di Mesir.

Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat
aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa
tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing
dan perut mual. Saat itu terlintas di hati andaikan ada Raihana, dia
pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu
mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku
istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut.

Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam
enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku
belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa,
andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan
tidak terlambat sholat subuh.

Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus.
Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan
mutu dosen mata kuliah bahasa Arab. Diantaranya tutornya adalah
professor bahasa Arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan
beliau tentang Mesir.

Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen
bahasa Arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan
satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani.
”Apakah kamu sudah menikah?” kata Pak Qalyubi.

“Alhamdulillah, sudah,” jawabku.

“Dengan orang mana?”.

“Orang Jawa.”

“Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak
saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah.
Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”.

“Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”.

“Kau sangat beruntung, tidak sepertiku.”

“Kenapa dengan Bapak?” “Aku melakukan langkah yang salah, seandainya
aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana
seperti sekarang”.

“Bagaimana itu bisa terjadi?.”

“Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan karena
terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya
begini, saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya
berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Di sana saya bersama kakak
kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya
waktu, tahun pertama saya lulus dengan predikat jayyid, predikat yang
cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia.

Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah
tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak
gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan
pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantik
itu. Saya bersumpah tidak akan menikah dengan siapapun kecuali dia.
Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya
didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan
dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya.
Saya memilih yang kedua.

Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan
begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari
mahasiswi Al-Azhar yang hafal al-Quran, salehah, dan berjilbab. Itu
lebih selamat dari pada dengan Yasmin yang awam pengetahuan agamanya.
Tetapi saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi
saya berhasil menikahi Yasmin.

Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot
rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S-1
saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual
untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli rumah yang cukup mewah
di kota Medan.

Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin
mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua
yang diinginkan Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin
nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah.
Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun
sekali, Yasmin tidak bisa.

Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak
terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri
saya mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman
alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa
mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat.
Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengin
rending, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan
Indonesia.

Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan
namanya. Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak
penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya
minta Yasmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia
malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya.
Sepupunya mendapat suami orang Mesir.

Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah
diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang
terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang
akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya
menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya
yang bangkrut.

Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya
mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah
Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung
menggigau meminta ibunya pulang.”

Mendengar cerita Pak Qalyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan
hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya
terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bulan aku berpisah dengannya.
Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat
shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah
pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku
mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar,
tetapi wajah Raihana telah menyala di dindingnya. Apa yang sedang
dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan
bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin
agar aku mencairkan tabungannya.

Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke toko baju muslim, aku ingin
membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin
memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku
tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil
uang tabungan, yang disimpan di bawah bantal. Di bawah kasur itu
kutemukan kertas merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap.
Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta
untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki
lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong.

Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan Rabbi, ternyata
surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku
zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam
rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan
derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan
dukanya. Dan ya Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan
suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.

“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh di hadapan-Mu. Lakal
hamdu ya Rabb. Telah Kau muliakan hamba dengan al-Quran. Kalaulah
bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok
ke dalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam
diri hamba,” tulis Raihana.

Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa, “Ya Allah inilah hamba-Mu yang
kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintu-Mu,
melabuhkan derita jiwa ini ke hadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan
ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu
tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang
apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya.
Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang
kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia
lagi pada suamiku.

Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena
kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan
penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba
kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha
Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa
cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya
Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah
kecuali Engkau, Maha Suci Engkau.”

Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru
yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan
Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan
pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tangannya
yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan
perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angin sejuk yang
turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona
Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati.
Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam
hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat di mata. Aku tiba-tiba
begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku
dengan Raihana.

Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang
menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris
tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku.
Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu-
sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis.

“Mana Raihana Bu?”. Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus
bertanya apa

sebenarnya yang telah terjadi.

“Raihana…, istrimu….istrimu dan anakmu yang di kandungnya”.

“Ada apa dengan dia?”

“Dia telah tiada.”

“Ibu berkata apa!”

“Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar
mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat.
Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala
kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf
karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan
tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya”. Hatiku
bergetar hebat. “Kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?”.

“Ketika Raihana di bawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang
untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi
ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin
mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu
ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami
sangat sedih, jadi maafkanlah kami.”

Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku
merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus
dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia
telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan
padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah
menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira. Ibu
mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru di kuburan
pinggir desa. Di atas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan
hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta,
haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup
kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua.

Potongan dari Novel: Habiburrahman El Shirazy, Pudarnya Pesona
Cleopatra (Novel Psikologi Islam Pembangun Jiwa)

Analogi Perang Pemikiran (Ghazwul Fikri) Terhadap Umat Islam

Seorang wanita berjilbab rapi tampak sedang bersemangat mengajarkan
sesuatu kepada murid-muridnya. Ia duduk menghadap murid-muridnya. Di
tangan kirinya ada kapur, di tangan kanannya ada penghapus. Sang guru
berkata, “Saya punya permainan… Caranya begini, di tangan kiri saya
ada kapur, di tangan kanan ada penghapus. Jika saya angkat kapur ini,
maka berserulah Kapur!”, jikasaya angkat penghapus ini, maka
berserulah “Penghapus!”.

Murid-muridnya pun mengerti dan mengikuti. Sang guru berganti-gantian
mengangkat antara kanan dan kiri tangannya, semakin lama semakin
cepat. Beberapa saat kemu dian sang guru kembali berkata, “Baik
sekarang perhatikan. Jika saya angkat kapur, maka berserulah
“Penghapus!”, jika saya angkat penghapus, maka katakanlah “Kapur!”.


Dan dijalankanlah adegan seperti tadi, tentu saja murid-murid
kerepotan dan kelabakan, dan sangat sulit untuk merubahnya. Namun
lambat laun, mereka bisa beradaptasi dan tidak lagi sulit. Selang
beberapa saat, permainan berhenti. Sang guru tersenyum kepada
murid-muridnya. “Anak-anak, begitulah kita ummat Islam. Mulanya yang
haq itu haq, yang bathil itu bathil. Kita begitu jelas membedakannya.
Namun kemudian, musuh-musuh kita memaksakan kepada kita lewat berbagai
cara, untuk membalik sesuatu, dari yang haq menjadi bathil, dan
sebaliknya. Pertama-tama mung kin akan sulit bagi kita menerima hal
tersebut, tapi karena terus disosialisasikan dengan cara-cara menarik
oleh mereka, akhirnya lambat laun kalian terbiasa dengan hal itu. Dan
kalian mulai mengikutinya.

“Musuh-musuh kalian tidak pernah berhenti membalik nilai. Pacaran
tidak lagi sesuatu yang tabu, zina tidak lagi jadi persoalan, pakaian
mini menjadi hal yang lumrah, sex before married menjadi suatu
hiburan, materialistis dan permisive kini menjadi suatu gaya hidup
pilihan, tawuran menjadi trend pemuda… dan lain-lain.” Semuanya sudah
terbalik. Dan tanpa disadari, kalian sedikit demi sedikit menerimanya.
Paham?” tanya Ibu Guru kepada murid-muridnya. “Paham buu…”



“Baik permainan kedua…” begitu Bu Guru melanjutkan. “Bu Guru punya
Qur’an, Ibu letakkan di tengah karpet. Nah, sekarang kalian berdiri di
luar karpet. “Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur’an
yang ada di tengah tanpa menginjak karpet?”

Nah, nah, nah. Murid-muridnya berpikir keras. Ada yang punya
alternatif dengan tongkat, dan lain-lain. Akhirnya Sang Guru
memberikan jalan keluar, ia gulung karpetnya, dan ia ambil Qur’annya.
Ia memenuhi syarat, tidak menginjak karpet.

“Anak-anak, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya… Musuh-musuh
Islam tidak akan menginjak-injak kalian dengan terang-terangan… Karena
tentu kalian akan menolaknya mentah mentah. Premanpun tak akan rela
kalau Islam dihina di hadapan mereka. Tapi mereka akan menggulung
kalian perlahan-lahan dari pinggir, sehingga kalian tidak sadar.”

“Jika seseorang ingin membangun rumah yang kuat, maka dibangunnyalah
pondasi yang kuat. Begitulah Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah
aqidah yang kuat. Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu susah
kalau membongkar pondasinya dulu, tentu saja hiasan-hiasan dinding
akan dikeluarkan dulu, kursi dipindahkan dulu, lemari disingkirkan
dulu satu persatu, baru rumah dihancurkan…”

“Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kita. Ia tidak akan
menghantam terang terangan, tapi ia akan perlahan-lahan mencopot
kalian. Mulai dari perangai kalian, cara hidup kalian, model pakaian
kalian, dan lain-lain, sehingga meskipun kalian muslim, tapi kalian
telah meninggalkan ajaran Islam dan mengikuti cara yang mereka… Dan
itulah yang mereka inginkan.”

“Ini semua adalah fenomena Ghazwul Fikri (invasi pemikiran). Dan
inilah yang dijalankan oleh musuh musuh kalian… Paham anak-anak?”
“Paham buu!”

“Kenapa mereka tidak berani terang-terangan menginjak-injak Islam,
Bu?” tanya seorang murid. “Sesungguhnya dahulu mereka terang-terangan
menyerang, semisal Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tapi
sekarang tidak lagi.”

“Begitulah Islam, Kalau diserang perlahan-lahan, mereka tidak akan
sadar, akhirnya ambruk. Tapi kalau diserang serentak terang-terangan,
mereka akan bangkit serentak, baru mereka akan sadar.” Kalau saja
ummat Islam di Ambon tidak diserang, mungkin umat Islam akan lengah
terhadap sesuatu yang sebenarnya selalu mengincar mereka. Paham
anak-anak?” “Paham Buu..”



“Kalau begitu, kita selesaikan pelajaran kita kali ini, dan mari kita
berdoa dahulu sebelum pulang…” Matahari bersinar terik tatkala
anak-anak itu keluar meninggalkan tempat belajar mereka dengan pikiran
masing-masing di kepalanya.
Sumber: www.kebunhidayah.wordpress.com

KIsah mengHarukan

Pernikahan kami sederhana tapi sangat meriah. Menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan & mapan pula. Dia sudah sukses dalam karir nya. Kami berbulan madu di tanah suci. Setelah menikah aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci....

Aku sangat bahagia dengan nya, diya sangat memanjakan aku. Sangat terlihat rasa cinta dan sayangnya pada ku. Banyak orang yang bilang,kami pasangan yang serasi. Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku memanjakanku. Aku bahagia menikah dengannya.

5 Tahun sudah kami menikah, sangat tak terasa waktu berjalan, walaupun kami hanya berdua saja. Karena sampai saat ini aku belum bisa memberikannya seorang malaikat kecil di tengah keharmonisan rumah tangga kami. Karena dia anak lelaki satu - satunya dalam keluarga nya, jadi aku harus berusaha untuk dapat meneruskan generasi nya. Alhamdulillah suamiku mendukung ku. Ia mengaggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan NYA.
Tapi keluarga nya mulai resah. Dari awal kami menikah ibu & adiknya tidak menyukaiku, aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka, tapi aku menutupi dari suami ku. Didepan suami ku, mereka sangat baik pada ku, tapi dibelakang suami ku, aku dihina - hina oleh mereka.

Pernah suatu ketika, 1 tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan, , mobilnya hancur

Alhamdulillah suami ku selamat dari maut yang hampir membuat ku menjadi seorang janda. Ia dirawat dirumah sakit, pada saat dia belum sadarkan diri, aku selalu menemaninya siang & malam, kubacakan ayat - ayat suci Al - Qur'an,aku sibuk bolak - balik rumah sakit dan tempat aku melakukan aktivitas sosialku, aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan.

Ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat didalam kamarnya ada ibu, adik - adiknya dan teman - teman suamiku, dan satu lagi aku melilhat seorang wanita yg sangat akrab dengan ibunya. Mereka tertawa menghibur suamiku.

Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar, aku menangis ketika melihat suami ku sudah sadar, tapi aku tak boleh sedih di depannya.

Kubuka pintu yg tertutup rapat itu,sambil mengatakan "Assalammu'alaikum" mereka menjawab salam ku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semua melihatku, , suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah 5 hari mata nya selalu tertutup. Tangannya melambai, mengisyar atkan aku untuk memegang tangannya yg erat. Setelah aku menghampirinya, ku cium tangannya sambil berkata "Assalammu'alaikum" , ia pun menjawab salam ku dengan suaranya yg lirih tapi penuh dengan cinta. Aku pun senyum melihat wajahnya.
Ibu nya lalu berbicara sama aku ...


"Fis, kenalakan ini Desi teman Fikri"
Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya, perempuan itu bernama Desi, dan diya sangat akrab dengan keluarga suamiku. Dan akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga. Aku pun langsung berjabat tangan dengannya, tak banyak aku biacara di dalam ruangan, aku tak mengerti apa yg mereka bicarakan.

Aku sibuk membersihkan & mengobati luka - luka di kepala suamiku, ,baru sebentar aku membersihkan mukanya, tiba - tiba adik ipar ku yg bernama Dian mengajakku keluar,ia minta ditemani ke kantin. Dan suamiku pun mengijinkannya. Aku pun menemaninya.

Tapi ketika di luar adik ipar ku berkata " lebih baik kau pulang saja " Ada kami yg menjaga abang disini. Kau istirahat saja. "

Aku pun tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan abang harus banyak beristirahat, karena sikologisnya masih labil. Aku berdebat dengannya mengapa aku tidak boleh pamitan pada suamiku, tapi tiba - tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia mengatakan hal yg sama, ia akan memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak pamitan pada nya, toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya salah suamiku tetap saja membenarkannya, akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata. Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis dlm kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat membenciku.
----------------------------------------------------------------------------
Hari itu, aku menangis tanpa sebab, yang ada di benakku aku takut kehilangannya, aku takut cintanya dibagi dengan yang lain. Pagi itu, pada saat aku membersihakn pekarang rumah kami, suamiku memanggil ku ke taman belakang, ia baru aja selesai sarapan, ia mengajakku duduk di ayunan favorit kami, sambil melihat ikan - ikan yang bertaburan di kolam air mancur itu.
Aku bertanya "Ada apa kamu memanggil ku ?"

Ia berkata "Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang "

Aku menjawab "Ia sayang aku tahu, aku sudah mengemasi barang - barang kamu di travel bag dan kamu sudah pegang tiket bukan ?"

"Ya tapi aku tak akan lama disana, cuma 3 minggu aku disana, aku juga sdh lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah dan aku kan pulang dengan mama ku " Jawab nya tegas

"Mengapa baru bicara, aku pikir hanya seminggu saja kamu disana ?" tanya ku balik kepada nya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru memberitahu rencana kepulanggannya itu, padahal aku bersusah payah mencarikan tiket pesawat untuknya.

"Mama minta aku yang menemani nya saat pulang nanti " jawab nya tegas

"Sekarang aku ingin seharian dengan kamu, karena nanti kita 3 minggu tidak bertemu, ya kan ?" lanjut nya lagi sambil memeluk ku dan mencium keningku. Hatiku sedih, dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan pada nya. Bahagianya aku, dimanja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang & cintanya. Walau terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku.

Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama suamiku, tapi karena keluarga nya tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu pada ku karena suamiku sangat sayang pada ku, aku memutuskan agar ia saja yg pergi, dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga kami. Karena ini acara sakral bagi keluarganya. Jadi seluruh keluarga nya harus komplit, aku pun tak diperdulikan oleh keluarganya harus datang atau tidak, tidak hadir justru membuat mereka sangat senang, aku pun tak mau membuat riuh keluarga ini.

Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluannya yang akan dibawa ke Sabang, ia menatapku dan menghapus airmata yang jatuh dipipiku lalu aku peluk erat dirinya, hati ini bergumam seakan terjadi sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan ditinggal pergi olehnya.

Aku tidak pernah di tinggal pergi selama ini, karena kami selalu bersama - sama kemana pun ia pergi. Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian tidak punya teman, hanya pembantu saja teman ngobrolku. Hati ini sedih akan di tinggal pergi oleh nya.

Sampai keesokan hari nya, aku menangis…menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku harus percaya apada suamiku. Dia pasti akan selalu menelpon ku.
-----------------------------------------------------------
Berjauhan dengan suamiku, sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri. Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadi aku tak terlalu kesepian di tinggal pergi ke Sabang. Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami buruk,saat ia di sana aku pun jatuh sakit...rahimku sakit sekali seperti dililit oleh tali, ,tak tahan aku menhan rasa sakit dirahimku ini, sampai - sampai aku mengalami pendarahan, aku dilarikan ke rumah sakit oleh adik laki - lakiku yang kebetulan menemaniku disana. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stdium 3.... Aku menangis, apa yang bisa aku banggakan lagi, mertuaku akan semakin menghinaku, suami ku yang malang , yang berharap akan punya keturunan dari rahimku... Aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan aku hanya memeluk adikku.

Aku kangen pada suamiku, aku menunggu ia pulang, kapan ia pulang, aku tak tahu. Sementara suamiku disana, aku tidak tahu mengapa ia selalu marah - marah jika menelponku, bagaimana aku akan cerita kondisiku jika ia selalu marah - marah terhadapku.

Lebih baik aku tutupi dulu, dan aku juga tak mau membuatnya khawatir selama ia berada di Sabang. Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan cerita pada nya. Setiap hari aku menanti suami ku pulang, hari demi hari aku hitung....

Sudah 3 minggu suamiku di Sabang, malam itu ketika aku sedang melihat foto - foto kami, ponselku berbunyi, menandakan ada sms yang masuk. Ku buka di inbox ponselku, ternayta dari suamiku yang sms, ia menulis "aku sudah beli tiket untuk pulang, aku pulang nya satu hari lagi, aku aku kabarin lagi".

Hanya itu saja yang diinfokannya, aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik ini. Hari yg aku tunggu pun tiba, aku menantinya di rumah. Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya untuk menyambut suamiku pulang, dan aku akan menyelesaikan masalah komunikasi kami yg buruk akhir - akhir ini.

Bel pun berbunyi, kubuka kan pintu untuknya ia pun mengucap salam, sebelum masuk aku pegang tangannya ke depan teras, ia tetap berdiri, aku membungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan ku cuci kedua kakinya, aku tak mw ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami, setelah itu aku pun berdiri langsung mencium tangannya tapi apa reaksi nya ...

Masya Allah ia tidak mencium keningku, ia langsung naik keatas, ia langsung mandi dan tidur,tanpa bertanya kabarku. Aku hanya berpikiran, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaan nya sampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta. Biasa nya kami selalu berjama'ah, tapi karena melihat nya tidur sangat pulas, aku tak tega membangun kannya, aku helus mukanya, aku cium kening nya, lalu aku sholat tahajud 8
rakaat plus witir 3 raka'at.
--------------------------------------------------------------------
Aku mendengar suara mobinya, aku terbangun lalu aku liat dia dari balkon kamar kami dia bersiap - siap untuk pergi, aku memanggil nya tapi ia tak mendengar, lalu aku langsung ambil jilbabku, aku lari dari atas ke bawah tanpa memperdulikan darah yg bercecer dari rahimku, aku mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi, ada apa dengan suamiku...mengapa ia sangat aneh terhadapku ?

Aku tidak bisa diam begitu saja firasatku ada sesuatu. Saat itu juga aku langsung menelpon kerumah mertuaku, kebetulan Dian yang angkat telpon nya, aku bercerita dan aku bertanya apa yang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab "Loe pikir aja sendiri !!!" telpon pun langsung terputus.

Ada apa ini ? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia pulang dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan ku.

Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami, kami berbicara seperlunya saja, aku selalu di introgasinya, aku dari mana dan mengapa pulang terlambat, ia bertanya dengan nada yg keras, suamiku telah berubah.

Bahkan yang membuat ku kaget, aku pernah di tuduh nya berzina dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu, tapi aku selalu ingat, sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para istri, itu yang aku pegang, aku hanya berdo'a agar suamiku sadar akan prilakunya.

*******
2 Tahun berlalu, suamiku tak berubah juga, aku menangis tiap malam, lelah menanti seperti ini, kami seperti orang asing yang baru saja kenal, kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna, walaupun kondisinya tetap seperti itu, aku tetap merawatnya & menyiapi segala yang ia perlukan. Penyakitku pun masih aku simpan dengan baik dan ia tak pernah bertanya obat apa yang aku minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun telah aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir.

Bersyukurlah, aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru ngaji jadi aku tak perlu repot - repot meminta uang pada nya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku

Sungguh suami yang dulu aku puja, aku banggakan sekarang telah menjadi orang asing, setiap aku tanya ia selalu meyuruhku untuk berpikir sendiri. Tiba - tiba saja malam itu, setelah makan malam selesai, suamiku memanggilku.

"ya ada apa Yah !" sahutku dengan memanggil nama kesayangannya "Ayah"

"Lusa kita siap - siap ke Sabang ya !" Jawabnya tegas

" Ada apa ?" Mengapa ?" sahutku penuh dengan keheranan

Astaghfirullah. ..suami ku yang dulu lembut menjadi kasar, diya mebentakku, tak ada lagi diskusi anatara kami.

Dia mengatakan " Kau ikut saja jgn byk tanya !!! "

Aku pun lalu mengemasi barang - barang yang akan dibawa ke Sabang sambil menangis,sedih karena suamiku yang tak ku kenal lagi.

2 Tahun pacaran, 5 tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia menjadi orang asing buat ku. Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto pernikahan kami sekarang menjadi dingin, sangat dingin dari batu es. Aku menangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak tapi aku tak bisa, suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang - barang, dia bilang perbuatan itu menunjukkan ketidakhormatan kedapanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini sendiri.

Kami telah sampai di Sabang, aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur, karena terus berpikir. Keluarga besar nya telah berkumpul disana, termasuk ibu & adik - adiknya, aku tidak tahu ada acara apa ini. Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tua itu, ia pun keluar bergabung dengan keluarga besarnya.

Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dlm lemari tua yg berada di dekat pintu kamar, lemari tua itu telah ada sebelum suamiku lahir. Tiba - tiba Tante Lia, tante yang sangat baik pada ku memanggil ku untuk segera berkumpul diruang tangah, aku pun ke ruang keluarga yag berada di tengah rumah besar itu, rumah zaman peninggalan belanda diaman langit - langit nya lebih dari 4 meter. aku duduk disamping suamiku, suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku tak berani bertanya pada nya, tiba - tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling berhak atas semuanya membuka pembicaraan.

"Baiklah,karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Fisha ! " Nenek nya bicara sangat tegas.. Dengan sorot mata yang tajam.

" Ada apa ya Nek ?" sahutku dengan penuh tanya..
Nenek pun menjawab " Kau telah gabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun, sampai saat ini kami tak melihat tanda - tanda kehamilan yang sempurna, sebab selama ini kau selalu keguguran !!'

Aku menangis, untuk inikah aku diundang ke mari, untuk dihina atau di pisahkan dengan suamiku.

"Sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu, sebelum kau menikah dengannya, tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur, dan akhirnya menikahlah ia dengaa kau." Neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu semua.

Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya.
"Dan aku dengar dari ibu mertua mu kau pun sudah berkenalan dengannya" Neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu. Sedangkan suamikku hanya diam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin aku peluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian.

Nenek nya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari pembicaraannya ialah dengan wajah yang sangat menantang ia berkata " kau mau nya gimana ? kau di madu atau diceraikan ?"

Masya Allah...... kuat kan hati ini, aku ingin jatuh pingsan, hati ini seakan remuk mendengar nya, hancur hati ku, mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku..

Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulau kayu tersebut, mereka mengira aku sangat bahagia 2 tahun belakangan ini.

"Fish, jawab !! " Dengan tegas Ibunya langsung memintaku untuk menjawab

Aku langsung memegang tangan suamiku, dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab dengan tegas. "Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya melalui bathiniah, untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami."

Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cinta ku di bagi, pada saat itu juga suami ku memandangku dengan tetesan air mata, tapi air mata ku tak sedikit pun menetes di hadapan mereka.
Aku lalu bertanya kepada suami ku, "Ayah siapakah yang akan menjadi sahabat ku dirumah kita nanti Yah?”

Suamiku menjawab "Dia Desi ! "
Aku pun langsung menarik napas dan langsung berbicara "Kapan pernikahan nya berlangsung ? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini Nek?"

Ayah mertuaku menjawab "Pernikahannya 2 minggu lagi."

"Baiklah kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruh nya mengurus KK kami ke kelurahan besok" setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar.

Tak tahan lagi, air mata ini akan turun, aku berjalan sangat cepat, aku buka pintu kamar, aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah dibagi, sakit, diiringi akutnya penyakitku. Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun belakangan ini ?

Aku berjalan menuju ke meja rias, ku buka jilbabku, aku bercermin sudah tidak cantikkah aku ini, ku ambil sisirku, aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok, ku lihat wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi, rambutku sudah hampir habis, kepalaku sudah botak dibagian tengahnya.

Tiba - tiba pintu kamar ini terbuka, ternyata suami ku datang, ia berdiri dibelakangku, tak kuhapus air mata ini aku langsung memandangnya dari cermin meja rias itu.

Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan "terimah kasih ayah, kamu memberi sahabat kepada ku, jadi aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti! Iya kan ?"

Suami ku mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum dan bertanya knp rambutku rontok, dia hanya mengatakan jangan salah memakai shampo, dalam hati ku mengapa ia sangat cuek? Ia sudah tak memanjakan ku lagi.. Lalu dia bilang bilang "sudah malam, kita istirahat yuk"!

"Aku sholat Isya dulu baru aku tidur" jawab ku tenaang.

Dalam sholat, dalam tidur aku menangis, ku hitung waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku. Aku tak tahu kalo Desi orang Sabang juga. Sudahlah ini mungkin takdirku. Aku ingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat memanjakan aku, diamana rasa sayang dan cintanya itu.
-----------------------------------------------------------------------
Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku. Di laptop aku menulis saat - saat terakhirku melihat suamiku, aku marah pada suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang tidur pulas, apa salahku sampai ia berlaku kejam kepada ku. Aku save di my document yang bertitle "Aku mencintaimu Suamiku"

Hari pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar, aku berdiri didekat jendela, aku melihat matahari, mungkin aku takkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama, lalu suamiku yang telah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku.

"Apakah kamu sudah siap ?"

Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata :
"Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk ke dalam rumah ini, cucilah kaki nya sebagaimana kamu mencuci kaki ku dulu, lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin bacakan do'a di ubun - ubunya sebagaimana yang kamu lakukan pada ku dulu lalu setelah itu....." tak sanggup aku ingin meneruskan pembicaraan ini, aku ingin menagis meledak

Tiba - tiba suamiku menjawab "lalu apa Bunda ?"

Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk, aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar - binar. "…….bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan ?" pinta ku tuk menyakini bahwa kuping ini tidak salah mendengar.

Dia mengangguk dan berkata "Baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa bunda ?" sambil ia menghelus wajah dan menghapus airmataku, dia agak sidikit membungkuk karena dia sangat tinggi, aku hanya sedada nya saja.

Dia tersenyum, sambil berkata " Kita liat saja nanti ya!" dia memelukku dan berkata, "bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temui selain mama" lalu ia mencium keningku.

Aku langsung memeluk nya erat dan berkata "Ayah, apakah ini akan segera berakhir? Ayah kemana saja? Mengapa ayah berubah? Aku kangen sama ayah? Aku kangen belaian kasih sayang ayah? Aku kangen dengan manjanya ayah? Aku kesepian ayah? Dan satu hal lagi yang harus ayah tau bahwa aku tidak pernah berzinah! Dulu waktu awal kita pacaran, aku memang belum bisa melupakannya, setelah 4 bulan bersama ayah baru bisa aku terima, jika yang dihadapanku itu adalah lelaki yang aku cari. Bukan bearti aku pernah berzina ayah.” Aku langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil berkata "Aku minta maaf ayah, telah membuatmu susah"

Saat itu juga, diangkatnya badanku, ia hanya menangis.

Ia memelukku sangat lama, 2 tahun aku menanti dirinya kembali.
Tiba - tiba perutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan ku, dan ia bertanya "bunda baik -baik saja kan" tanya nya dengan penuh khawatir.

aku pun menjawab, “bisa memeluk dan melihat kamu kembali seperti dulu itu sudah mebuatku baik Yah" aku tak bisa bicara sekarang. Karena dia akan menikah. Aku tak mau buat diya khawatir. Dia harus khusyu menjalani acara prosesi akad nikah tersebut.

Setelah tiba dimasjid, ijab qabul pun dimulai. Aku duduk di sebrang suamiku.

Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu membuat hati ini cemburu, ingin berteriak mengatakn "Ayah Jangan" tapi aku ingat akan kondisi ku.

Jantung ini berdebar kencang, ketika mendengar ijab qabul tersebut. Begitu ijab qabul selesai, aku menarik napas panjang, Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini, ya, aku kuat. Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding di pelaminan. Orang - orang yang hadir di acara resepsi itu iba melihatku, mereka melihatku sangat aneh, wajahku yang selalu tersenyum tapi hatiku menangis.

Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja, tak mencuci kaki nya. Aku sangat heran dengan prilaku nya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini? Sementara itu Desi sambut hangat di dalam keluarga suamiku,tak seperti aku yang di musuhinya.

Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana bisa !! Suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tau apa yang mereka lakukan didalam.

1/3 malam, pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu, aku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur disofa ruang tengah, ku dekati lalu ku lihat.... Masya Allah, suamiku tak tidur dengannya,ia tidur disofa, aku duduk disofa itu sambil menghelus mukanya yang lelah, tiba - tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget.

"Kamu datang ke sini, aku pun tau " ia langsung berkata seperti itu, aku tersenyum dan megajaknya sholat lail. Setelah sholat lail, ia mengatakan "maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu menderita karena ego nya aku. Besok kita pulang ke Jakarta, biar Desi pulang denagn mama, papa Dan juga adik - adikku"
Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi. Ya Allah, apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, aku telah meresakan kehadirannya saat ini. Tapi masih bisakah engaku ijinkan aku untuk mersakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini.

Suamiku berbisik, "Bunda kok kurus ?"

Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan.
Aku pun berkata "Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi ?"

"Aku kangen sama kamu Bunda. Aku tak mau menyakitimu lagi, kamu sudah terluka oleh sikapku yang egois," dengan lembut suamiku menjawab seperti itu.

Lalu suamiku berkata, "Bun, ayah minta maaf telah menelantarkan bunda... Selama ayah di Sabang, ayah dengar kalo bunda tidak tulus mencintai ayah, bunda seperti mengejar sesuatu, seperti harta ayah, dan satu lagi ayah pernah melihat sms bunda dengan mantan pacar bunda dimana isinya klo bunda gk mw berbuat seperti itu, dan seperti itu di beri tanda kutip ( "seperti itu" ), ayah ingin ngomong tapi takut bunda tersinggung, dan ayah berpikir klo bunda pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu ayah, terus ayah dimarahi oleh keluar ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda "

Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan didirinya, hanya karena omongan keluarganya, yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini.

Aku hanya menjawab "Aku sudah ceritakan itu kan Yah, akutidak pernah berzinah, dan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa kamu, banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu itu Yah. Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu.

Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian di kamar pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannya beserta sikap keluaraganya juga. Karna aku tak mau mati dalam hati yang penuh denagn rasa benci.
--------------------------------------------------------
Keesokan harinya..... .....
Katika aku ingin bangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimku sakit sekali..aku pendarahan.. suamiku kaget. Suamiku kaget bukan main, ia langsung menggendongku. Aku pun dilarikan ke rumah sakit. Jauh sekali aku mendengar suara zikir suamiku. Aku merasakan tanganku basah. Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran.

Ia menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan " Bunda, Ayah minta maaf , , !!"

Berapa kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hati ku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku.

Aku berkata dengan suara yang lirih " Yah....Bunda ingin pulang, bunda ingin bertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya Yah...."

"Ayah jangan berubah lagi ya !!! Janji ya Yah... !!! Bunda sayang banget sama Ayah "

Tiba - tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakit nya semakin keatas, kakiku sudah tak bisa bergerak lagi, aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku, kulihat wajahnya yang tampan, linangan air matanya.

Sebelum mata ini tertutup ku lafazkan kalimat syahadat dan ditutup denagn kalimat tahlil.

*********************************************************
Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku. Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka. Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacran samapai kami menikah.

Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafas ku.

Untuk Ibu mertuaku : "Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampai aku hidup didalam hati anakmu. Ketahuilah Ma, dari dulu aku selalu berdo'a agar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku, apa engkau punya bukti nya Ma. Mengapa engkau sangat cemburu padaku Ma ? Fikri tetap milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku. Dengan Desi kau sangat baik tetapi dengan ku, menantumu kau bersikap sebaliknya."

*********************************************************
Setelah ku buka laptop,ku baca curhatan istriku
Ayah, mengapa keluargamu sangat membenciku.
Aku dihina oleh mereka ayah.
Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu ?
Pernah suatu ketika, aku bertemu Dian di jalan, aku menegornya karena dia adik iparku tapi aku disambut dengan wajah ketidak sukaannya. Sangat terlihat Ayah.
Tapi ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia memanggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu ayah.

Aku tak bisa berbicara ttg ini padamu, karena aku tahu kamu pasti membela adikmu, tak ada gunanya Yah.

Aku diusir dari rumah sakit.
Aku tak boleh merawat suamiku.
Aku cemburu paad Desi yang sangat akrab dengan mertuaku
Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku
Aku sangat marah....

Jika aku membicarakn hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela Desi dan ibunya.
Aku tak mau sakit hati lagi.

Ya Allah kuatkan aku, maafkan aku
Engkau Maha Adil.
Berilah keadilan ini padaku Ya Allah
…..

Ayah sudah berubah, ayah sudah tak sayang lagi pada ku.
Aku berusaha untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja - manja lagi padamu.
Aku kuat ayah dalam kesakitan ini.
Lihatlah ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku.
Aku bisa melakukan ini semua sendiri ayah.
…..
Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu
Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui
Tapi aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku
Aku harus sadar diri

Ayah, sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu
Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku ?
Ayah aku masih tak rela
Tapi aku harus ikhlas menerimanya

Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya
Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku
Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir
Sebelum ajal ini menjemputku
Ayah...aku kangen ayah
-------------------------------------------------------------------------------
Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu Bun
Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi ke Pulau Kayu ini
Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri.

Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur.
Bunda akan selalu hidup dihati ayah.
Bunda...
Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah...
Desi sangat berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutku tak pernah di creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya.
Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun aku tak perduli, dalam kesendirianmu.
Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin ayah masih bisa tidur dengan belaian tangan Bunda yang halus.
Sekarang Ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda..
Bunda, kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui.
Aku menyesal telah asik dalam keegoanku..
Bunda maafkan aku. Bunda tidur tetap manis.
Maafkan aku,
tak bisa bersikap adil dan membahagiakan mu, aku selalu mengiyakan apa kata ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka. Maafkan aku ketika kau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja.
maafkan.............

Jumat, 14 Mei 2010

Amazing Qur'an Recitation by Alhassan Boriya

Alhassan Boriya atau ada juga yang menyebutnya Hassan bin Abdullah al Awwad seorang anak dari bosnia,membacakan surah Az-Zumar(39) ayat 53-75.

Alhassan Boriya,a young Qari from Bosnia,Surah Al Qiyamah


Al Qiyamah 1-40:(english translation)
1. I do call to witness the resurrection day;
2. and I do call to witness the self-reproaching spirit: (Eschew evil).
3. does man think that we cannot assemble His bones?
4. Nay, we are able to put together In perfect order the very tips of His fingers.
5. but man wishes to do wrong (Even) In the time In front of Him.
6. He questions: "When is the Day of Resurrection?"
7. at length, when the sight is dazed,
8. and the moon is buried In darkness.
9. and the sun and moon are joined together,-
10. that Day will man say: "Where is the refuge?"
11. by no means! no place of safety!
12. before Thy Lord (alone), that Day will be the place of rest.
13. that Day will man be told (all) that He put forward, and all that He put back.
14. Nay, man will be evidence against Himself,
15. Even though He were to put up His excuses.
16. move not Thy tongue concerning the (Qur'an) to make haste therewith.
17. it is for us to collect it and to promulgate it:
18. but when we have promulgated it, follow Thou its recital (as promulgated):
19. nay more, it is for us to explain it (and make it clear):
20. Nay, (ye men!) but ye love the fleeting life,
21. and leave alone the Hereafter.
22. some faces, that Day, will beam (in brightness and beauty);-
23. looking towards their Lord;
24. and some faces, that Day, will be sad and dismal,
25. In the thought that some back-breaking calamity was about to be inflicted on them;
26. yea, when (the soul) reaches to the collar-bone (in its exit),
27. and there will be a cry, "Who is a magician (to restore Him)?"
28. and He will conclude that it was (the time) of Parting;
29. and one leg will be joined with another:
30. that Day the drive will be (all) to Thy Lord!
31. so He gave nothing In charity, nor did He pray!-
32. but on the contrary, He rejected truth and turned away!
33. then did He stalk to His family In full conceit!
34. woe to thee, (o men!), yea, woe!
35. again, woe to thee, (o men!), yea, woe!
36. does man think that He will be left uncontrolled, (without purpose)?
37. was He not a drop of sperm emitted (in lowly form)?
38. then did He become a leech-like clot; then did ((Allah)) make and fashion (Him) In due proportion.
39. and of Him He made two sexes, male and female.
40. has not He, (the same), the power to give life to the dead?

Rabu, 12 Mei 2010

Alif Baa Taa Nasheed

,Nasyid huruf-huruf hijaiyah yang dikemas dalam bentuk animasi,sehingga memudahkan bagi anak-anak untuk mengenal huruf hijaiyah.

Video Surah Yasin (Al-hassan Boriya)

Subhanallah........sungguh merdu lantunan ayat suci al-quran Surah Yasin yang dibacakan oleh anak ini.

Selasa, 11 Mei 2010

Hikmah Kejujuran Pemuda Pemakan Apel

Beberapa abad lalu, di masa-masa akhir tabi’in. Di sebuah jalan, di salah satu pinggiran kota Kufah, berjalanlah seorang pemuda. Tiba-tiba dia melihat sebutir apel jatuh dari tangkainya, keluar dari sebidang kebun yang luas. Pemuda itu pun menjulurkan tangannya memungut apel yang nampak segar itu. Dengan tenang, dia memakannya. Pemuda itu adalah Tsabit. Baru separuh yang digigitnya, kemudian ditelannya, tersentaklah dia. Apel itu bukan miliknya! Bagaimana mungkin dia memakan sesuatu yang bukan miliknya?

Akhirnya pemuda itu menahan separuh sisa apel itu dan pergi mencari penjaga kebun tersebut. Setelah bertemu, dia berkata: “Wahai hamba Allah, saya sudah menghabiskan separuh apel ini. Apakah engkau mau memaafkan saya?”
Penjaga itu menjawab: “Bagaimana saya bisa memaafkanmu, sementara saya bukan pemiliknya. Yang berhak memaafkanmu adalah pemilik kebun apel ini.”
“Di mana pemiliknya?” tanya Tsabit.
“Rumahnya jauh sekitar lima mil dari sini,” kata si penjaga.
Maka berangkatlah pemuda itu menemui pemilik kebun untuk meminta kerelaannya karena dia telah memakan apel milik tuan kebun tersebut.
Akhirnya pemuda itu tiba di depan pintu pemilik kebun. Setelah mengucapkan salam dan dijawab, Tsabit berkata dalam keadaan gelisah dan ketakutan: “Wahai hamba Allah, tahukah anda mengapa saya datang ke sini?”
“Tidak,” kata pemilik kebun.
“Saya datang untuk minta kerelaan anda terhadap separuh apel milik anda yang saya temukan dan saya makan. Inilah yang setengah lagi.”
“Saya tidak akan memaafkanmu, demi Allah. Kecuali kalau engkau menerima syaratku,” katanya.
Tsabit bertanya: “Apa syaratnya, wahai hamba Allah?”
Kata pemilik kebun itu: “Kamu harus menikahi putriku.”
Si pemuda tercengang seraya berkata: “Apa betul ini termasuk syarat? Anda memaafkan saya dan saya menikahi putri anda? Ini anugerah yang besar.”
Pemilik kebun itu melanjutkan: “Kalau kau terima, maka kamu saya maafkan.”
Akhirnya pemuda itu berkata: “Baiklah, saya terima.”
Si pemilik kebun berkata pula: “Supaya saya tidak dianggap menipumu, saya katakan bahwa putriku itu buta, tuli, bisu dan lumpuh tidak mampu berdiri.”
Pemuda itu sekali lagi terperanjat. Namun, apa boleh buat, separuh apel yang ditelannya, kemana akan dia cari gantinya kalau pemiliknya meminta ganti rugi atau menuntut di hadapan Hakim Yang Maha Adil?
“Kalau kau mau, datanglah sesudah ‘Isya agar bisa kau temui istrimu,” kata pemilik kebun tersebut.
Pemuda itu seolah-olah didorong ke tengah kancah pertempuran yang sengit. Dengan berat dia melangkah memasuki kamar istrinya dan memberi salam.
Sekali lagi pemuda itu kaget luar biasa. Tiba-tiba dia mendengar suara merdu yang menjawab salamnya. Seorang wanita berdiri menjabat tangannya. Pemuda itu masih heran kebingungan, kata mertuanya, putrinya adalah gadis buta, tuli, bisu dan lumpuh. Tetapi gadis ini? Siapa gerangan dia?
Akhirnya dia bertanya siapa gadis itu dan mengapa ayahnya mengatakan begitu rupa tentang putrinya.
Istrinya itu balik bertanya: “Apa yang dikatakan ayahku?”
Kata pemuda itu: “Ayahmu mengatakan kamu buta.”
“Demi Allah, dia tidak dusta. Sungguh, saya tidak pernah melihat kepada sesuatu yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
“Ayahmu mengatakan kamu bisu,” kata pemuda itu.
“Ayahku benar, demi Allah. Saya tidak pernah mengucapkan satu kalimat yang membuat Allah Subhanahu wa Ta’ala murka.”
“Dia katakan kamu tuli.”
“Ayah betul. Demi Allah, saya tidak pernah mendengar kecuali semua yang di dalamnya terdapat ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
“Dia katakan kamu lumpuh.”
“Ya. Karena saya tidak pernah melangkahkan kaki saya ini kecuali ke tempat yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Pemuda itu memandangi wajah istrinya, yang bagaikan purnama. Tak lama dari pernikahan tersebut, lahirlah seorang hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang shalih, yang memenuhi dunia dengan ilmu dan ketakwaannya. Bayi tersebut diberi nama Nu’man; Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah rahimahullahu.
Duhai, sekiranya pemuda muslimin saat ini meniru pemuda Tsabit, ayahanda Al-Imam Abu Hanifah. Duhai, sekiranya para pemudinya seperti sang ibu, dalam ‘kebutaannya, kebisuan, ketulian, dan kelumpuhannya’.
Demikianlah cara pandang orang-orang shalih terhadap dunia ini. Adakah yang mengambil pelajaran?

Kisah Sedekah Yang Salah Alamat

Suatu ketika, Rasulullah Shalallhu ‘Alaihi Wasallam, seperti yang kerap beliau laku­kan, berbincang-bincang dengan para sahabat di serambi Masjid Nabawi, Madinah. Selepas berbagi sapa dengan me­reka, beliau Shalallhu ‘Alaihi Wasallam berkata kepada mereka,
“Suatu saat ada seorang pria berkata kepada dirinya sendiri, ‘Malam ini aku akan bersedekah!’ Dan, benar, malam itu juga dia memberikan sedekah kepada seorang perempuan yang tak dikenalnya. Ternyata, perempuan itu seorang pezina. Sehingga, keja­dian itu menjadi perbincangan khalayak ramai..

“Akhirnya, kabar tersebut sampai juga kepada pria itu. Mendengar kabar yang demikian, pria itu bergumam, ‘Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu.Ternyata, sedekahku jatuh ke tangan seorang pezina. Karena itu, aku akan bersedekah lagi!’
“Maka, pria itu kemudian mencari seseorang yang menu­rutnya layak menerima sedekah. Ternyata, penerima sede­kah itu, tanpa diketahuinya, adalah orang kaya. Sehingga, kejadian itu lagi-lagi menjadi perbincangan khalayak ramai, lalu sampai juga kepada pria yang bersedekah itu.
“Mendengar kabar yang demikian, pria itu pun bergu­mam,’Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu. Ternyata, sede­kahku itu jatuh ke tangan orang kaya. Karena itu, aku akan bersedekah lagi!’
Maka, dia kemudian, dengan cermat, men­cari seseorang yang menurutnya layak menerima sedekah. Ternyata, penerima sedekah yang ketiga, tanpa diketahui­nya, adalah seorang pencuri. Tak lama berselang, kejadian itu menjadi perbincangan khalayak ramai, dan kabar itu sampai kepada pria yang bersedekah itu.
Mendengar kabar demikian, pria itu pun mengeluh, ‘Ya Allah! Segala puji ha­nya bagi-Mu! Ya Allah, sedekahku ternyata jatuh ke tangan orang-orang yang tak kuduga: pezina, orang kaya, dan pen­curi!’
“Pria itu kemudian didatangi (malaikat utusan Allah) yang berkata, “Sedekahmu telah diterima Allah. Bisa jadi pezina itu akan berhenti berzina karena menerima sedekah itu. Bisa jadi pula orang kaya itu mendapat pelajaran karena sedekah itu, lalu dia menyedekahkan sebagian rezeki yang dikaru­niakan Allah kepadanya. Dan, bisa jadi pencuri itu berhenti mencuri selepas menerima sedekah itu.”
Dikutip dari Kebunhidayah.wordpress.com

Kisah Seguci Emas

Sebuah kisah yang terjadi di masa lampau, sebelum Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan. Kisah yang menggambarkan kepada kita pengertian amanah, kezuhudan, dan kejujuran serta wara’ yang sudah sangat langka ditemukan dalam kehidupan manusia di abad ini.

Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ada seorang laki-laki membeli sebidang tanah dari seseorang. Ternyata di dalam tanahnya itu terdapat seguci emas. Lalu berkatalah orang yang membeli tanah itu kepadanya: “Ambillah emasmu, sebetulnya aku hanya membeli tanah darimu, bukan membeli emas.”
Si pemilik tanah berkata kepadanya: “Bahwasanya saya menjual tanah kepadamu berikut isinya.”.
Akhirnya, keduanya menemui seseorang untuk menjadi hakim. Kemudian berkatalah orang yang diangkat sebagai hakim itu: “Apakah kamu berdua mempunyai anak?”
Salah satu dari mereka berkata: “Saya punya seorang anak laki-laki.”
Yang lain berkata: “Saya punya seorang anak perempuan.”
Kata sang hakim: “Nikahkanlah mereka berdua dan berilah mereka belanja dari harta ini serta bersedekahlah kalian berdua.”
Inilah kisah nyata yang diceritakan oleh Ash-Shadiqul Mashduq (yang benar lagi dibenarkan) Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)
Kisah dalam hadits ini menerangkan ketinggian sikap amanah kedua lelaki tersebut dan tidak adanya keinginan mereka mengaku-aku sesuatu yang bukan haknya. Juga sikap jujur serta wara’ mereka terhadap dunia, tidak berambisi untuk mengangkangi hak yang belum jelas siapa pemiliknya.
Kedua lelaki ini tetap bertahan, lebih memilih sikap wara’, tidak mau mengambil dan membelanjakan harta itu, karena adanya kesamaran, apakah halal baginya ataukah haram?
Mari perhatikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma:
“Siapa yang terjatuh ke dalam syubhat (perkara yang samar) berarti dia jatuh ke dalam perkara yang haram.”
Sementara kebanyakan kita, menganggap ringan perkara syubhat ini. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, bahwa siapa yang jatuh ke dalam perkara yang samar itu, bisa jadi dia jatuh ke dalam perkara yang haram. Orang yang jatuh dalam hal-hal yang meragukan, berani dan tidak memedulikannya, hampir-hampir dia mendekati dan berani pula terhadap perkara yang diharamkan lalu jatuh ke dalamnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menjelaskan pula dalam sabdanya yang lain:
“Tinggalkan apa yang meragukanmu, kepada apa yang tidak meragukanmu.”
Yakni tinggalkanlah apa yang engkau ragu tentangnya, kepada sesuatu yang meyakinkanmu dan kamu tahu bahwa itu tidak mengandung kesamaran.
Sedangkan harta yang haram hanya akan menghilangkan berkah, mengundang kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menghalangi terkabulnya doa dan membawa seseorang menuju neraka jahannam.
Kemudian muamalah mereka yang baik, bukan hanya akhirnya menimbulkan kasih sayang sesama mereka, tetapi menumbuhkan ikatan baru berupa perbesanan, dengan disatukannya mereka melalui perkawinan putra putri mereka. Bahkan, harta tersebut tidak pula keluar dari keluarga besar mereka. Allahu Akbar.
Sungguh, betapa indah apa yang dikisahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Di zaman yang kehidupan serba dinilai dengan materi dan keduniaan. Bahkan hubungan persaudaraan pun dibina di atas kebendaan. Wallahul musta’an.

Mengukur Tetangga

Hidup bertetangga boleh jadi mirip dengan menebak cahaya bintang-bintang. Terlihat sama, padahal punya kekhasan yang berbeda. Ada yang sebenarnya terang, biasa saja, dan sangat redup. Tapi jangan pernah menghitung, karena hal itu cuma jadi sia-sia.

Tak ada yang lebih menarik setelah urusan keluarga selain dari soal tetangga. Itulah dunia yang paling dekat dengan lingkungan keluarga. Bisa menyenangkan, mengharukan, kadang juga menggelisahkan.

Tiga keadaan itu, memang tak pernah seragam di semua keluarga. Sangat bergantung pada status sosial lingkungan rumah. Tinggal di perumahan elit tentu berbeda dengan perumahan tipe tiga enam ke bawah. Dan akan jauh berbeda lagi jika sebuah keluarga nyempil di kepadatan rumah kampung. Tak beraturan, dan sangat alami. Hal itulah yang kini dialami Bu Sisri..

Satu bulan sudah ibu dua anak ini tinggal di rumah kampung kota. Lingkungannya kampung, tapi lokasinya ada di pusat kota. Itulah mungkin gambaran penduduk asli yang mengelompok dalam kepungan pembangunan kota. Jadilah percampuran budaya yang unik. Selera kota, tapi kemampuan desa. Trendnya kota, tapi gaya gaulnya masih desa.

Di luar plus minus itu, Bu Sisri sangat bersyukur. Tetangganya yang sekarang sangat berbeda ketika masih tinggal bersama ortu. Yang sekarang lebih akrab, perhatian, dan begitu ramah.

Ini terbukti ketika Bu Sisri baru satu hari tinggal. Silih berganti, puluhan ibu tetangganya berkunjung. Mereka berkenalan dengan Bu Sisri. Ada yang nanya soal anak, masakan, suami, perabot, bahkan penghasilan per bulan.

Awalnya Bu Sisri kikuk. Bingung mau ngomong apa. Mau terus terang, menyangkut soal rahasia keluarga. Mau tak jawab, khawatir disangka merendahkan tetangga. Jalan keluarnya, Bu Sisri lebih banyak senyum dan mendengar. Tidak heran jika dari sekian banyak tetangga yang datang, Bu Sisri lebih banyak tahu mereka daripada sebaliknya.

Setelah satu hari meladeni tetangga, Bu Sisri mengira kalau esoknya bisa istirahat. Dan perkiraan itu ternyata salah besar. Justru di hari-hari berikutnyalah mereka melakukan pendalaman. Ada yang selalu datang persis ketika Bu Sisri baru selesai masak. "Udah beres, Bu?" tanya seorang ibu yang tiba-tiba sudah ada di dapur. Tanpa salam, tanpa ketuk pintu. Hampir saja Bu Sisri teriak karena kaget.

Setelah basa-basi, ibu itu pun menghampiri masakan Bu Sisri. Tanpa ragu, salah satu masakan itu pun ia comot. "Hm, enak banget!" ucapnya sambil terus merasai masakan yang lain. Setelah itu, ia baru bilang, "Boleh kan saya cicipi?" Dan Bu Sisri cuma diam. Ia paksakan senyumnya tetap mengembang. Walau hatinya agak keberatan. "Ajari dong masaknya. Ya, ajari saya, ya?!" ucap ibu itu serius. Bu Sisri pun mengangguk.

Ada yang datang tiap kali menjelang maghrib. Sekitar dua puluh menit sebelum bedug, seorang ibu selau menjambangi Bu Sisri. Padahal, saat itu waktu yang paling repot buat Bu Sisri. Ia mesti beres-beres rumah, memandikan anak-anak, dan bersiap shalat jamaah bersama anak-anak. Dan ketika suami pulang menjelang Isya, semua sudah terlihat indah, bersih, dan rapi. Lahir dan batin.

Awalnya, Bu Sisri mengira kedatangan ibu tetangga itu karena urusan penting. Ia pun menunda semua kesibukannya. Bukankah seorang mukmin yang baik yang menghormati tamunya. Dengan ramah dan antusias, Bu Sisri melayani sang tamu. "Ada apa, ya Bu?" tanyanya dengan senyum mengembang.

"Anu, Bu Sisri udah tahu, belum? Pak RT kita kan isterinya dua!" ucap si ibu begitu antusias. Belum Bu Sisri menjawab, ia pun mengisahkan awal mula peristiwanya. Dari ketidaksetujuan isteri pertama Pak RT, sampai isu menggunakan jasa dukun.

Astaghfirullah! Bu Sisri bingung mesti gimana. Mau terus mendengarkan, ceritanya cuma soal ghibah. Mau mengacuhkan, sang tamu jauh lebih tua darinya. Bu Sisri cuma berharap, adzan Maghrib bisa cepat-cepat datang. Itulah alasan yang pas menyudahi pembicaraan.

Bu Sisri pernah curhat ke suami soal tetangga. Ia tumpahkan semua ketidaknyamanan, kekecewaan, dan kebingungannya selama ini. "Gimana dong, Mas?!" ucap Bu Sisri minta ketegasan. Tapi, yang ditanya cuma senyum-senyum.

Memang sih, Bu Sisri mesti realistis. Itulah kenyataan masyarakat kita. Masih butuh banyak pendidikan, arahan, dan tentu saja teladan. Jangan pernah menjauh, apalagi lari dari mereka.

Buat Bu Sisri, itu memang pemandangan lain. Pengalaman baru yang sebelumnya tak pernah kebayang. Selama ini, ia cuma tahu itu dari buku. Waktu-waktu semasa gadisnya habis buat kuliah, aktif di kampus, dan istirahat di rumah. Setelah menikah pun, anak bungsu ini kerap dimanjakan dengan tiga pembantu rumah orang tuanya. Jauh dari capek, jauh dari kepolosan masyarakat kebanyakan.

Bu Sisri sadar. Ia memang harus berubah. Realistis. Tidak lagi hidup di menara gading. Ia bukan lagi si bungsu yang manja. Bukan lagi berada di tengah teman-teman pengajian yang punya tingkat pemahaman lumayan. Ia kini berada di sebuah kampung yang terkepung oleh serbuan gaya hidup kota.

"Bu Sisri!" ucap seorang tetangga memecah lamunan Bu Sisri. "Salam likum," tambahnya sambil tanpa sungkan mendekat ke Bu Sisri yang masih bersandar di kursi beranda depan.

"Eh, saya ada berita penting lho, Bu!" ungkap si ibu tampak serius. Bu Sisri pun menyimak. Hatinya menerawang, ada hal penting apa sampai pagi-pagi gini sudah di rumah orang. "Ada apa, Bu?" tanya Bu Sisri lembut.

"Anu. Ternyata, Tamara jadi cerai," ucap si ibu kemudian. Mendengar itu, Bu Sisri ikut prihatin. Kasihan Bu RT itu. Sudah kecewa, harus mendapat kenyataan pahit. "Kok, Pak RT kita begitu sih?" tanya Bu Sisri.

Kali ini, si ibu itu agak bingung. "Oh, bukan Tamara isteri Pak RT," ucap si ibu menangkap ketidaknyambungan Bu Sisri. "Lalu, siapa?" tanya Bu Sisri. "Itu lho. Tamara si artis yang bintang sabun itu! Kasihan deh, Bu!" jelas sang tetangga menampakkan rasa sedih.

Bu Sisri menatap tajam wajah si tetangga. Pikirannya tidak lagi pada soal yang dibicarakan. Ia cuma berdoa dalam hati, "Ya Allah, kuatkan kesabaranku!"
eramuslim.com