Sabtu, 15 Mei 2010

Pudarnya Pesona Cleopatra

Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalam
kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal.
“Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren
Mangkuyudan Solo dulu,” kata ibu.

“Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan
besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon
keikhlasanmu,” ucap beliau dengan nada mengiba.

Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah.
Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin
menjadi mentari pagi di hatinya, meskipun untuk itu aku harus
mengorbankan diriku.

Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun
sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang
begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya
kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa
berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai.
Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida
adikku, ia memang baby face dan anggun. Namun garis-garis kecantikan
yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali.

Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, “Cantiknya alami, bisa jadi
bintang iklan Lux lho, asli !” kata tante Lia. Tapi penilaianku lain,
mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan
Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung
melengkung indah, mata bulat bening khas Arab, dan bibir yang merah.
Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan
bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu
sia-sia.

Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku.
Hari pernikahan datang. Duduk di pelaminan bagai mayat hidup, hati
hampa tanpa cinta, Pestapun meriah dengan empat group rebana. Lantunan
shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum
manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta.
Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas
baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!

Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta,
hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca
ayat-ayatNya. Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi
kebohonganku dan kepura-puraanku.

***
Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang.
Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa
susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat
bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah
bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar,
wajahnya yang teduh tetap terasa asing.

Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai
kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh
rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya
kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih
banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di
ruang tamu atau ruang kerja. Aku merasa hidupku ada lah sia-sia,
belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku
sia-sia.

Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama,
karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab,
“tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus
belajar berumah tangga.”

Ada kekagetan yang kutangkap di wajah Raihana ketika kupanggil ‘mbak’,
“Kenapa Mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa Mas sudah tidak
mencintaiku,” tanyanya dengan guratan wajah yang sedih.

“Wallahu a’lam,” jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana
diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk
kakiku, “Kalau Mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri,
kenapa Mas ucapkan akad nikah?”

“Kalau dalam tingkahku melayani Mas masih ada yang kurang berkenan,
kenapa Mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa Mas diam saja, aku
harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan Mas, kumohon bukalah
sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi
menyempurnakan ibadahku di dunia ini,” Raihana mengiba penuh pasrah.

Aku menangis menitikkan air mata, bukan karena Raihana tetapi karena
kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak
berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap
melayaniku, menyiapkan segalanya untukku.

***
Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai di rumah habis
maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali
segelas kopi buatan Raihana tadi pagi. Memang aku berangkat pagi
karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir.

“Mas tidak apa-apa,” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas mandi
dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi
mendidih,” lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. ”Mas
airnya sudah siap,” kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku
langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah
berdiri di depan pintu membawa handuk. ”Mas aku buatkan wedang jahe.”
Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa
kutahan.

Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan
memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. “Mas
masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai
balsam, minyak putih, atau jamu?” tanya Raihana sambil menuntunku ke
kamar. ”Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus
kulakukan untuk membantu Mas”.

“Biasanya dikerokin,” jawabku lirih. “Kalau begitu kaos mas dilepas
ya, biar Hana kerokin,” sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku.
Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar
mengeroki punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus.

Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang
hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat
Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al
Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana
manis tapi tak semanis gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra.

Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku
untuk makan malam di istananya. “Aku punya keponakan namanya Mona
Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu,” kata Ratu Cleopatra. “Dia
memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok
dan berniat memperkenalkannya denganmu.” Aku mempersiapkan segalanya.
Tepat pukul 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan
pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk
di kursi yang berhias berlian.

Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba “Mas, bangun, sudah
jam setengah empat, mas belum sholat Isya,” kata Raihana
membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. “Maafkan aku
Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya,” lirih
Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam.

Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku
jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan
mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat baik
membangunkanku untuk sholat Isya.

Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu
dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku
benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai
Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa
dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.

***

“Mas, nanti sore ada acara aqiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga
akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang
bareng, tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak
datang,” suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman
Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde
kesukaanku dan segelas wedang jahe.

Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. “Maaf..maaf
jika mengganggu Mas, maafkan Hana,” lirihnya, lalu perlahan-lahan
beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. “Mbak! Eh maaf, maksudku
D..Din..Dinda Hana!,” panggilku dengan suara parau tercekak dalam
tenggorokan.

“Ya Mas!” sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan
menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia
bahagia dipanggil ‘dinda’. Matanya sedikit berbinar. “Te..terima kasih
Di..dinda, kita berangkat

bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah,” ucapku sambil
menatap wajah Hana

dengan senyum yang kupaksakan.

Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum
bersinar di bibirnya. “Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau
pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja
yang memilihkan ya?” Hana begitu bahagia.

Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan
bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku
belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku.
Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah.

Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku
memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini. Tapi,
setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun.
Kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku
merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini.

Acara pengajian dan aqiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana
membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana,
kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh
bangga. “Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang
paling ideal dalam keluarga!” sambut Yu Imah disambut tepuk tangan
bahagia mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana
cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku
menangis disebut pasangan ideal.

Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan
terbaik di kampusnya dan hafal al-Quran lantas disebut ideal? Ideal
bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa
cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang
tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari
detik ke detik meneteskan rasa bahagia.

Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana.

Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget
oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata
keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali
menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan
ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat
pusing dengan sikapku.

Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang
keturunan. “Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada
tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu,” kata
ibuku. “Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah
kami. Bukankah begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku,
aku tergagap dan mengangguk sekenanya.

Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana.
Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan.
Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan
kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha
Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri.
Raihana hamil. Ia semakin manis.

Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak
kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera.
Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak
kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya, “Mana tanggung
jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. “Entahlah, betapa sulit
aku menemukan cinta,” gumamku.

Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan
ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan
alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia ke
rumahnya.

Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak
menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal di kontrakan. Ketika aku
pamitan, Raihana berpesan, “Mas, untuk menambah biaya kelahiran anak
kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh di
bawah bantal, nomor pin-nya sama dengan tanggal pernikahan kita.”

Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari
aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa
sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan
segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa
saat kuliah di Mesir.

Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat
aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa
tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing
dan perut mual. Saat itu terlintas di hati andaikan ada Raihana, dia
pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu
mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku
istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut.

Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam
enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku
belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa,
andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan
tidak terlambat sholat subuh.

Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus.
Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan
mutu dosen mata kuliah bahasa Arab. Diantaranya tutornya adalah
professor bahasa Arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan
beliau tentang Mesir.

Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen
bahasa Arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan
satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani.
”Apakah kamu sudah menikah?” kata Pak Qalyubi.

“Alhamdulillah, sudah,” jawabku.

“Dengan orang mana?”.

“Orang Jawa.”

“Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak
saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah.
Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”.

“Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”.

“Kau sangat beruntung, tidak sepertiku.”

“Kenapa dengan Bapak?” “Aku melakukan langkah yang salah, seandainya
aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana
seperti sekarang”.

“Bagaimana itu bisa terjadi?.”

“Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan karena
terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya
begini, saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya
berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Di sana saya bersama kakak
kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya
waktu, tahun pertama saya lulus dengan predikat jayyid, predikat yang
cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia.

Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah
tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak
gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan
pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantik
itu. Saya bersumpah tidak akan menikah dengan siapapun kecuali dia.
Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya
didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan
dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya.
Saya memilih yang kedua.

Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan
begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari
mahasiswi Al-Azhar yang hafal al-Quran, salehah, dan berjilbab. Itu
lebih selamat dari pada dengan Yasmin yang awam pengetahuan agamanya.
Tetapi saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi
saya berhasil menikahi Yasmin.

Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot
rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S-1
saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual
untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli rumah yang cukup mewah
di kota Medan.

Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin
mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua
yang diinginkan Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin
nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah.
Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun
sekali, Yasmin tidak bisa.

Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak
terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri
saya mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman
alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa
mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat.
Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengin
rending, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan
Indonesia.

Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan
namanya. Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak
penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya
minta Yasmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia
malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya.
Sepupunya mendapat suami orang Mesir.

Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah
diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang
terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang
akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya
menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya
yang bangkrut.

Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya
mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah
Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung
menggigau meminta ibunya pulang.”

Mendengar cerita Pak Qalyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan
hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya
terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bulan aku berpisah dengannya.
Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat
shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah
pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku
mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar,
tetapi wajah Raihana telah menyala di dindingnya. Apa yang sedang
dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan
bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin
agar aku mencairkan tabungannya.

Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke toko baju muslim, aku ingin
membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin
memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku
tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil
uang tabungan, yang disimpan di bawah bantal. Di bawah kasur itu
kutemukan kertas merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap.
Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta
untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki
lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong.

Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan Rabbi, ternyata
surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku
zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam
rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan
derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan
dukanya. Dan ya Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan
suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.

“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh di hadapan-Mu. Lakal
hamdu ya Rabb. Telah Kau muliakan hamba dengan al-Quran. Kalaulah
bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok
ke dalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam
diri hamba,” tulis Raihana.

Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa, “Ya Allah inilah hamba-Mu yang
kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintu-Mu,
melabuhkan derita jiwa ini ke hadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan
ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu
tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang
apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya.
Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang
kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia
lagi pada suamiku.

Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena
kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan
penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba
kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha
Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa
cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya
Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah
kecuali Engkau, Maha Suci Engkau.”

Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru
yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan
Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan
pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tangannya
yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan
perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angin sejuk yang
turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona
Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati.
Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam
hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat di mata. Aku tiba-tiba
begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku
dengan Raihana.

Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang
menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris
tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku.
Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu-
sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis.

“Mana Raihana Bu?”. Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus
bertanya apa

sebenarnya yang telah terjadi.

“Raihana…, istrimu….istrimu dan anakmu yang di kandungnya”.

“Ada apa dengan dia?”

“Dia telah tiada.”

“Ibu berkata apa!”

“Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar
mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat.
Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala
kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf
karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan
tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya”. Hatiku
bergetar hebat. “Kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?”.

“Ketika Raihana di bawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang
untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi
ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin
mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu
ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami
sangat sedih, jadi maafkanlah kami.”

Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku
merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus
dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia
telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan
padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah
menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira. Ibu
mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru di kuburan
pinggir desa. Di atas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan
hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta,
haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup
kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua.

Potongan dari Novel: Habiburrahman El Shirazy, Pudarnya Pesona
Cleopatra (Novel Psikologi Islam Pembangun Jiwa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar