Selasa, 18 Mei 2010

ANTARA GAZA DAN RITZ CARLTON

Kisah yang tersisa dari tragedi di Gaza telah menggambarkan kehidupan yang pahit. Pahitnya kehidupan di Gaza benar-benar menyakitkan. Tapi kepahitan itu hanya bagi mereka yang dapat merasakannya. Tidak semua orang dapat merasakan kehidupan yang pahit, yang dialami muslim di Gaza.

Kematian yang tanpa henti. Kematian yang selalu menanti. Nyawa menjadi tidak berharga. Zionis-Israel sangat tidak peduli atas kematian-kematian mereka. Terus memuntahkan peluru dari senjata-senjatanya. Inilah sebuah tragedi, yang tanpa henti. Entah sampai kapan keadaan ini? Mungkihkah ada pembela-pembela yang sejati?

Mereka yang kehilangan sanak famili, suami, istri, anak, orang tua, dan keluarga lainnya. Betapa pahitnya hidup muslim di Gaza. Mereka selalu kehilangan orang-orang terdekat. Seperti kisah yang sudah panjang itu tak pernah usai. Betapapun, mereka tetap bersabar, tak pernah putus asa, dan hidup dengan penuh pengharapan. Mereka terus berjuang dengan gigih, tanpa merasa letih.

Kisah seperti yang dialami oleh Dr. Ehab Jasir al-Shaer, seorang dokter, dan mengambil spesialis dibidang dermatology, dan menyelesaikann spesialisnya di Universitas Ukraina, dan ia tidak ada dikliniknya, saat 27 Desember 2008 itu. Hari itu, Ehab dan saudaranya Raja, pamannya Yasir, sepupunya Haitham dan Tamer, semuanya mereka tinggal di kota perbatasan Rafah yang letaknya di selatan kota Gaza.

Jam 10 pagi waktu setempat, anak saya, saudara saya, dan ipar saya pergi ke kantor pemerintahan Rafah. Dan, sampai ke kantor kota Rafah, kira-kira jam menunjukkan pukul 11.30, dan saya mendengar ledakan dahsyat di mana-mana, ungkap Jaser al-Shaer (60), ayah Dr. Ehab. Ketika terjadi ledakan yang dahsyat di mana-mana itu, Jaser al Shaer sedang di atas sofa ditempat praktek klinik Ehab.

Jaser el-Shaer diberitahu tetangganya, yang berdekatan dengan rumahnya bahwa gedung pemerintahan di Rafah, baru saja dihantam missil pesawat tempur Israel. Lalu, hati saya menjadi tersayat sedih. Membayangkan anak saya, saudara saya, dan ipar saya yang ada di gedung itu. Saya bergegas meninggalkan rumah, terus menuju ke gedung pemerintahan Rafah.

Di reruntuhan gedung pemerintahan Rafaf itu, saya menemukan anak saya Ehab, saudara saya Yasir, dan anaknya Haitam, yang ikut syahid, akibat missil Israel’ ujar Jaser. Laki-laki yang berusia 60 tahun itu, terduduk dan termangu memandangi jenazah anaknya Ehab, saudaranya Yasir, dan putra Haitam.

Wajah Ehab nampak tersenyum seperti orang tidur, ujar Jaser al Shaer. “Ia seorang suami yang penuh kasih sayang, lembut, dan suami yang bertanggungjawab”, ujar Nancy Jouda, istri Ehab, sambil menitikkan air matanya.

Umm Ehab, seorang ibu yang sangat mencintai putranya, ia tak dapat menghentikan rasa sedihnya, tangisnya terus mengiringi anaknya, yang terbaring di depannya. “Apakah semua penderitaan bagi saya,” ungkap Nancy, yang sedang hamil tiga bulan. “Adakah anakku tak dapat lagi melihat ayahnya,” tambah Nancy. Sekarang Nancy menjadi seorang janda, yang masih berusia 28 tahun, disertai seorang anak laki-laki dan perempuan.

Episode yang dialami seorang wanita Palestina, sebagai akibat kebiadaban Israel. Keluarga Jasir al Shaer berada di kamp pengungsi di tahun 1948, ketika keluarga itu diusir oleh tentara Israel di desa Karatiya, dan kelurga Jaser merupakan salah diantarar 450 penduduk Karatiya, yang oleh Israel sekarang ini dianggap sebagai masyarakat tidak memiliki tempat tinggal.

Keluarga Jaser telah kehilangan dua anaknya, di bulan Mei 2004, dibantai oleh tentara Israel. Sekarang Jaser harus kehilangan lagi anaknya, Ehab. Serangan Israel yang terjadi di bulan Mei 2004 itu, ke wilayah Tal al Sultan, yang terletak di selatan kota Rafah.

Para pasien Ehab sangat terkejut mendengar kabarnya, bahwa dokter Ehab syahid. “Saya telpon kepadda Dr. Ehab untuk konfirmasi janji saya, tetapi yang menjawab bukan Dr. Ehab, tetapi saudaranya yang bernama Shirin,” ujar seorang pasien. “Saya berteriak, mendengar Dr. Ehab syahid saya bersedih sekali,” tambah pasien itu.

Dr. Ehab al-Shaer mulai praktek di sebuah klinik di kota Rafah, 2006, dan melakukan praktek dermatology.Selama setahun telah mendapatkan perhatian yang luas dikalangan masyarakat Rafah, dan mereka sangat menyukai Dr. Ehab. Dan, Dr. Ehab membuka cabang klinik di kamp Nuseirat, di pusat kota Gaza.

Ini hanya sepenggal episode, saat belangsungya invasi militer Zionis-Israel ke Gaza, yang meluluh-lantakkan wilayah itu. Tetapi, tak juga membuat pemerintahan di Gaza mengibarkan bendera putih. Tetap bersikap teguh menghadapi Israel, Amerika, Uni Eropa, Rusia dan PBB. Tidak lantas menyerah dan bertekuk lutut. Mengakui eksistensi Zionis-Israel.

Muslim di Gaza sudah hampir empat tahun, menghadapi embargo dan blokade Israel dan internasional, sejak kemenangannya dalam pemilu 2006, dan disusul dengan pengambil-alihan pusat kekuasaan Mahmud Abbas di Gaza.

Muslim Gaza bukan hanya menghadapi embargo dan blokade, tetapi menghadapi kekurangan pasokan makanan, penderitaan, dan tidak dapat pergi ke mana-mana, mereka bagaikan dalam penjara hidup. Masih ditambah dengan tindakan Mesir, yang membangun tembok baja, sepanjang perbatasan Mesir dengan Gaza. Luar biasa penderitaan itu.

Sementara itu, Zionis-Israel terus membangun pemukiman baru di Jerusalem Timur, dan menghancurkan rumah-rumah milik warga Palestina. Masih belum cukup. Zionis Israel dengan bertahap berusaha menghapus Al-Aqsha dan menggantinya dengan kuil Sulaeman.

Di bagian lain, di Jakarta, konon ada sebuah komunitas gerakan Islam yang menyelenggarakan acara di sebuah hotel yang super mewah di Ritz Carlton, yang tujuannya untuk membangun citra. Begitu pentingnya sebuah citra itu? Di banding nasib muslim di Gaza dan Al-Aqsha. Dan, hotel Ritz Carlton itu milik siapa?

Sebuah paradok yang sangat menyayat hati, bagi siapapun yang masih memiliki hati nurani dan perasaan. Wallahu'alam.
Dikutip dari www.eramuslim.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar